Beranda | Artikel
Hindari Respon Negatif ketika Anak Berbicara
1 hari lalu

Hindari Respon Negatif ketika Anak Berbicara merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Ada Apa dengan Remaja. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 28 Dzulhijjah 1446 H / 24 Juni 2025 M.

Kajian Tentang Hindari Respon Negatif ketika Anak Berbicara

Julukan atau panggilan seperti “nakal”, “bandel”, dan sejenisnya termasuk kategori kalimat negatif. Kesan yang ditimbulkannya pasti bersifat merendahkan. Oleh karena itu, istilah semacam ini sebaiknya kita ganti dengan istilah yang lebih tepat, seperti menyebut “perilaku negatif pada anak”, daripada menggunakan ungkapan “anak nakal”. Tentunya, saat seorang anak berperilaku sebagaimana yang disebut “nakal” oleh orang tua itu ada sebabnya, enggak mutlak kesalahan itu semua dilimpahkan  kepada anak.

Terkadang, perilaku negatif pada anak tidak lepas dari kelalaian, keaabaian, atau kesalahan orang tua sendiri. Maka, tidak arif dan tidak adil jika sifat serta julukan negatif tersebut langsung ditimpakan kepada anak. Akibatnya, istilah seperti “nakal” menjadi identik dengan anak, muncul pula istilah “anak nakal”, “kenakalan remaja”, dan sejenisnya.

Padahal, apa yang sering disebut sebagai “kenakalan anak” oleh orang tua, bisa jadi justru berasal dari kenakalan orang tua sendiri dari kelalaian, kealpaan, kesalahan, bahkan kejahilan mereka dalam mendidik. Akhirnya, anak hanya menjadi pihak yang terkena imbas dari kelengahan dan kekeliruan para pendidiknya. Ibnul Qayyim rahimahullāh mengatakan bahwa anak akan tumbuh besar sesuai dengan apa yang diberikan, ditanamkan, dan dicontohkan oleh pendidiknya.

Maka, ungkapan-ungkapan seperti itu sangat intimidatif. Ucapan seperti, “Kamu anak nakal,” “Kamu anak bandel,” “Anak saya nakal,” “Anak saya bandel”, sebenarnya lebih merupakan luapan rasa frustrasi orang tua dalam menghadapi perilaku anaknya. Kadang-kadang keluar kata-kata mutiara dari para orang tua: “Sekolahkan sudah mahal-mahal, dibiayai sekolahnya, dan lain sebagainya.” Sementara itu, orang tua sama sekali tidak campur tangan, bahkan lepas tangan terhadap pendidikan anaknya. Bulat-bulat diserahkan, dititipkan, dilimpahkan ke sekolah atau lembaga pendidikan.

Ini tentunya adalah bentuk perjudian juga dari orang tua. Jika diserahkan kepada sekolah, lalu berhasil, mereka mengatakan, “Alhamdulillah.” Namun jika tidak berhasil, yang disalahkan adalah sekolah dan anak. Orang tua tidak pernah merasa salah, Karena kebanyakan orang tua tidak mengakui kesalahan.

Kadang-kadang orang tua tidak bisa menjelaskan bagaimana riwayat pendidikan anaknya. Lalu ujung-ujungnya yang disalahkan adalah anaknya, sekolah, lingkungan temannya, dan lain sebagainya. Mereka berkata, “Itu salah temannya, dia salah pergaulan.” Anak mungkin saja terjebak dalam pergaulan yang salah. Tapi pertanyaannya: Kok bisa sampai ke situ? Kenapa? Apa yang sudah dilakukan oleh orang tua untuk mengarahkan pergaulan anak? Bagaimana campur tangan orang tua di dalamnya? Bagaimana pengawasannya? Dari situ barulah kita sadar bahwa mendidik itu bukan perkara yang simpel dan sederhana. Ini berat. Ini adalah tanggung jawab yang besar. Ini adalah tugas para Nabi dan Rasul adalah mendidik.

Mendidik berarti menaklukkan hati anak-anak didik kita anak kita sendiri. Mendidik adalah bagian dari dakwah. Ketika kita mendidik anak, berarti kita sedang berdakwah kepada anak kita sendiri. Allah memerintahkan kita untuk berdakwah dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Dan itu adalah bagian yang terberat yaitu berdakwah dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Menjadi teladan itu sudah berat. Mendidik itu sama dengan keteladanan. Menjadi sosok yang bisa diikuti, dicontoh oleh anak, itu saja sudah berat.

Belum lagi kita berbicara soal memasukkan nilai-nilai pendidikan kepada anak. Mulai dari akhlaknya, kemudian akidahnya, ibadahnya, serta keterampilan yang harus ia miliki. Bagaimana ḥablun minallāh dan ḥablun minannās-nya? Ini bukan perkara yang sederhana sebenarnya. Oleh karena itu, para orang tua wajib belajar tentang parenting. Ini adalah materi yang tidak bisa kita hindari, tapi sebagian orang tua memilih untuk tutup telinga.

Karena kita tahu apa konsekuensinya: berhadapan dengan sesuatu yang besar. Di pundak kitalah terletak tanggung jawab yang besar. Membangun dan mencetak generasi bukanlah perkara yang mudah. Hal ini membutuhkan keterlibatan semua pihak dan tidak bisa dilimpahkan bulat-bulat kepada lembaga-lembaga pendidikan. Kita pun tahu bahwa pendidikan yang paling fundamental adalah pendidikan di rumah. Aktor utama dalam pendidikan adalah orang tua.

Namun jika kita justru berusaha untuk “cuci tangan” lalu mengambinghitamkan pihak luar, atau menjadikan anak sebagai kambing hitam kita tidak akan pernah tahu di mana letak masalah anak tersebut, dan bagaimana solusinya. Kita tidak akan tahu apa sebab-musababnya. Akhirnya, ujung dari semua itu adalah anak yang menjadi korban.

Salah satu caranya adalah jangan memberikan respons atau komentar yang negatif saat anak berbicara. Anak perlu diberi kesempatan untuk berbicara, karena dengan begitu ia merasa dihargai sebagai manusia terlebih lagi jika ia sudah menginjak usia remaja. Tujuan kita adalah menaklukkan hatinya. Manusia tidak bisa dipaksa. Kita harus mengenal karakter manusia. Allah pun menyampaikan bahwa tidak ada manusia yang suka dipaksa. Kembalilah kepada diri kita masing-masing apakah kita suka jika terus-menerus dipaksa? Bahkan oleh orang yang paling dekat sekalipun? Pada dasarnya, manusia tidak suka dipaksa. Kalaupun dipaksa, ia akan melakukannya dengan berat hati. Karena ada ayat yang mengatakan:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama.” (QS. Al-Baqarah  [2]: 256)

Artinya, manusia pada dasarnya memang tidak bisa dan tidak suka dipaksa. Masalah surga dan neraka. Karena itu, penting bagi kita untuk memahami bahwa yang sedang dihadapi adalah manusia makhluk yang memiliki kehendak bebas termasuk anak sendiri, yang lahir dari benih kita. Menaklukkan hati manusia bukanlah perkara mudah. Hal itu membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Untuk membangun  chemistry antara orang tua dan anak, atau antara seseorang dengan orang lain, diperlukan kesabaran. Sebab, hubungan chemistry tidak bis secara dadakan, maka menaklukan hati anak itu perlu proses, kesabaran,  dan kesantunan.

Para ulama mengatakan: “Hukum asal dalam berdakwah adalah dengan kelembutan.” Karena dengan kelembutan kita dapat menaklukkan hati manusia bukan dengan kekerasan kekasaran dan pemaksaan.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55281-hindari-respon-negatif-ketika-anak-berbicara/